PNPM di Banjarnegara
Tulisan ini di susun sesaat setelah saya selesai menyusun laporan hasil monitoring dan evaluasi pelaksanaan PNPM-MP di kab banjarnegara. saya terdorong menulis ini setelah saya sadar betapa unik mekanisme ‘perbankan’ yang diterapkan pada program PNPM. beberapa waktu lalu (dan masih sampai sekarang..) kita begitu terpesona dengan konsep grameen bank yang membawa dr mohamad yunus menjadi salah satu penerima nobel yang paling fenomenal. konse tersebut berhasil membiayai dan mengangkat harkat hidup jutaan warga miskin di Bangladesh, yaitu dengan menyediakan bank yang dapat menyalurkan dana dengan mengabaikan prinsip2 kehati2an bank (prudentiality). dalam menyalurkan kredit mereka mengabaikan capita, capacity, & colateral..alhasil institusi tersebut menjawab kebutuhan modal untuk orang2 yang berada di bawah batas kemiskinan paling rigid. satu2-nya yang membuat mereka bertahan, sebatas pemahaman saya, adalah sistem yang terbangun, prosedur pengelolaan kredit, dan emotional bond yang tercipta antara nasabah terhadap tujuan dari grameen benk itu sendiri.
hal itulah yang ternyata saya sadari terjadi pada pelaksanaan program simpan pinjam di PNPM-MP. lending itu dikelola oleh sebuah badan kecil yang beranggotakan hanya 3 sampai 5 orang di tiap2 sub district/kecamatan. dimana badan tersebut oleh peraturan perundangan dilarang memiliki bentuk hukum sebagai lembaga keuangan. di tambah lagi, pinjaman2 yang diberikan merupakan hasil musyawarah, yang mana badan yang bernama UPK-PNPM tersebut tidak memiliki payung hukum untuk menyita apapun dari debitur yang ngemplang utang, karena memang untuk mendapatkan peinjaman sama sekali tidak dibutuhkan jaminan.
lalu apa yang membuat mereka bisa bertahan, bahkan beberapa di antara UPK-UPK tersebut mampu menggandakan nilai asetnya secara signifikan dalam beberapa tahun terakhir ini. jawabannya ada pada mekanisme penyaluran kredit mereka. setiap kelompok, yang kemudian di breakdown sebagai person, yang mengajukan permohonan kredit akan memperlombakan proposal pengajuan mereka dalam sebuah forum yang di ikuti oleh warga. semua rencana-rencana mereka akan di ekspos pada forum tersebut, kemudian forum-lah secara musyawarah terbuka yang akan menentukan proposal mana yang akan diprioritaskan memperoleh pinjaman. musyawarah/forum2 yang lain yang berfungsi sebagai evaluasi periodik-pun diadakan sepanjang waktu, dalam format yang menyenangkan dan tidak merepotkan. dengan begitu perkembangan hutang2 tadi selalu termonitor oleh masyarakat secara bersama2, walaupun forum tersebut tidak berhak untuk mencampuri internal affair tiap2 debitur ataupun kelompoknya. namun demikian, jika ada keterlambatan yang tidak beralasan, akan segera teridentifikasi dan ter-ekpos pada forum. apalagi jika terjadi semacam fraud atau terdapat moral hazard, yang sering menjatuhkan bank2 besar, yang bersangkutan akan suffering social condempnation dari masyarakat sekitarnya, believe me it is far more effective in our rural culture.
pada kultur pedesaan kita, sanksi sosial jauh lebih efektif daripada law enforcement, karena dengan penanganan secara hukum rasio cost and benefit-nya menjadi tidak masuk akal. itulah yang terjadi, orang di desa lebih takut menjadi gunjingan tetangganya daripada masuk penjara..?? ironis.
singkat cerita, inilah wajah potensi pedesaan kita sebenarnya. sebenarnya jika masyarakat di pedesaan diberi akses yang cukup kepada modal, ada banyak hal yang bisa mereka lakukan. ini di buktikan dengan suksesnya program PNPM-MP. dan beginilah seharusnya lebaga keuangan itu berfungsi..sebagai agent of development, untuk menyalurkan dana kepada sektor riil, bukan hanya untuk bertransaksi di pasar uang antar bank, invest di SBI, dll. uang tersebut mestinya disalurkan sebanyak2nya ke sektor riil sehingga perputaran uang meningkat dan multiplier effect-nya dirasakan langsung oleh masyarakat di semua lapisan produksi dan pasar.
Sumber : Sini
0 komentar :
Posting Komentar