Rabu, 18 Juni 2014

Pemerintah Desa

Rakor Fasilitator di Dieng


Rakor bulan juni 2014 tanggal   Juni 2014 di Desa Sembungan, Kalikajar Wonosobo

Sabtu, 14 Juni 2014

Presiden Teken PP untuk UU Desa

JAKARTA - Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono telah menandatangani Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa pada 30 Mei lalu.
PP ini berfungsi untuk pelaksanaan sejumlah ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, serta untuk mengoptimalkan penyelenggaraan pemerintahan desa. Aturan tersebut berisi syarat dan masa jabatan kepala desa, sumber anggaran desa, dan ketentuan pengelolaan keuangan desa.
"Sudah di Presiden. Kita nunggu aja pelaksanaannya," ujar Mendagri Gamawan Fauzi di kompleks Istana Negara, Jakarta, Jumat (13/6).
Aturan ini mengatur seluruh aspek dari penyelenggaraan pemerintah desa, termasuk pengaturan pengelolaan dan sumber Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APB Desa).
Pemerintah pusat harus menyalurkan dana khusus bagi penyelenggaraan pemerintah desa yang disebut sebagai Alokasi Dana Desa (ADD). ADD bersumber dari APBN yang ditransfer melalui APBD kabupaten/kota.
Pemerintah kabupaten/kota juga harus mengalokasikan minimal 10 persen dari dana perimbangan kabupaten/kota setelah dikurangi Dana Alokasi Khusus.
Selain itu, desa mendapatkan tambahan dana sebesar 10 persen dari realisasi penerimaan pajak dan retribusi daerah kabupaten/kota. Sebanyak 60 persen dari tambahan dana itu dibagi merata untuk seluruh desa, sedangkan 40 persen sisanya didistribusikan secara proporsional menurut hasil penerimaan dari masing-masing desa.
APB Desa digunakan untuk mendanai penyelenggaraan kewenangan yang berdasarkan hak asal usul dan kewenangan lokal berskala desa. Adapun program/kewenangan yang ditugaskan dari pemerintah pusat dan daerah masing-masing didanai oleh APBN dan APBD.
PP 43/2014 juga membatasi dana ADD yang boleh digunakan untuk membiayai upah perangkat desa, termasuk kepala desa.
Desa yang mendapatkan ADD kurang dari Rp 500 juta hanya boleh menggunakan 60 persen dari ADD untuk perangkat desa, desa dengan ADD Rp 500 juta-Rp700 juta maksimal 50 persen untuk perangkat desa. ADD Rp700 juta-Rp900 juta maksimal 40 persen, dan desa dengan ADD di atas Rp 900 juta maksimal 30 persen untuk perangkat desa.
Penghasilan total seluruh perangkat desa ditetapkan oleh bupati/wali kota dengan besaran penghasilan sekretaris desa minimal 70 persen penghasilan kepala desa dan perangkat desa lain minimal 50 persen dari penghasilan kepala desa.
Mendagri sendiri belum menjelaskan mengenai keuangan dalam PP tersebut. Menurutnya itu adalah tugas dari Kementerian Keuangan untuk mengklasifikasi ADD untuk desa.
"Soal itu dari Menkeu. Bukan dari kita. Kalau kita kan soal instansi dan pemerintahan," tandas Mendagri.(flo/jpnn)

Sumber : JPNN Logo

Presiden Teken UU Desa, Kepala Desa Kini Dapat Gaji dan TunjanganTetap

Rabu, 29 Januari 2014 - 13:51 WIB
Presiden Teken UU Desa, Kepala Desa Kini Dapat Gaji dan TunjanganTetap




Setelah disetujui oleh DPR-RI dalam rapat paripurna pada 18 Desember 2013, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada 15 Januari 2014 lalu, telah menandatangani pengesahan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Sebelumnya, dalam proses persetujuan di DPR-RI, pembahasan terhadap materi Undang-Undang Desa itu memakan waktu bertahun-tahun.
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa antara lain mengatur tentang Kedudukan dan Jenis Desa; Penataan Desa; Kewenangan Desa; Penyelenggaraan Pemerintahan Desa; Hak dan Kewajiban Desa dan Masyarakat Desa; Keuangan Desa dan Aset Desa; serta Pembangunan Desa dan Pembangunan Kawasan Perdesaan.
Dalam UU ini disebutkan, desa berkedudukan di wilayah Kabupaten/Kota, terdiri atas Desa dan Desa Adat sesuai dengan penyebutkan yang berlaku di daerah setempat.
Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, menurut Pasal 7 UU ini, dapat melakukan penataan desa, yang meliputi: a. Pembentukan; b. Penghapusan; c. Penggabungan; d. Perubahan status; dan e. Penetapan desa.
Pembentukan desa sebagaimana dimaksud harus memenuhi syarat: a.batas usia desa induk paling sedikit 5 (lima) tahun terhitung sejak pembentukan; b. Jumlah penduduk, yaitu wilayah Jawa paling sedikit 6.000 jiwa atau 1.200 kepala keluarga (KK), Bali paling sedikit 5.000 jiwa atau 1.000 KK, Sumatera paling sedikit 4.000 jiwa atau 800 KK, Sulsel dan Sulut paling sedikit 3.000 jiwa atau 600 KK, NTB paling sedikit 2.500 jiwa atau 500 KK, Sulteng, Sulbar, Sultra, Gorontali dan Kalsel paling sedikit 2.000 jiwa atau 400 kk, Kaltim, Kalbar, Kalteng dan Kaltara paling sedikir 1.500 jiwa ata 300 KK, NTT, Maluku dan Maluku Utara 1.000 jiwa atau 200 KK, dan Papua/Papua Barat paling sedikit 500 jiwa atau 100 KK.
Disebutkan dalam UU itu, pembentukan desa dilakukan melalui Desa Persiapan yang merupakan bagian dari wilayah desa induk. “Desa persiapan dapat ditingkatkan statusnya menjadi desa dalam jangka waktu 1-3 tahun.
Desa juga dapat dihapus karena bencana alam dan/atau kepentingan program nasional yang strategis, dan dua desa atau lebih dapat digabung berdasarkan kesepakatan. Selain itu, desa dapat berubah status menjadi kelurahan berdasarkan prakarsa Pemerintah Desa dan Badan Permusyarawatan Desa dengan memperhatian saran dan pendapatan masyarakat desa.  
“Pembentukan, penghapusan, penggabungan, dan/atau perubahan status desa menjadi kelurahan atau kelurahan menjadi desa ditetapkan dalam Peraturan Daerah,” bunyi Pasal 14 UU ini.
Adapun kewenangan desa meliputi kewenangan di bidang penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan pembangunan desa, pembinaan kemasyarakatan desa, dan pemberdayaan masyarakat desa berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asl usul dan ada istiadat desa.
Pemerintahan Desa
Pasal 23 UU ini menyebutkan, Pemerintahan Desa diselenggarakan oleh Pemerintah Desa, yaitu Kepala Desa atau yang disebut dengan nama lain yang dibantu oleh perangkat desa atau yang disebut dengan nama lain.
Kepala Desa bertugas menyelenggarakan Pemerintahan Desa, pembinaan kemasyarakatan desa, dan pem berdayaan masyarakat desa. “Dalam melaksanakan tugasnya, Kepala Desa berhak menerima penghasilan tetap setiap bulan, tunjangan dan penerimaan lainnya yang sah, serta mendapat jaminan kesehatan, dan mendapatkan perlindungan hukum atas kebijakan yang dilaksanakan,” bunyi Pasal 26 Ayat (3c,d) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 itu.
Kepala Desa antara lain dilarang: a. Merugikan kepentingan umum; b. Membuat keputusan yang menguntungkan diri sendiri, anggota keluarga, pihak lain, dan/atau golongan tertentu; c. Melakukan tindakan diskriminatif terhadap warga dan/atau golongan masyarakat tertentu; d. Menjadi pengurus partai politik; e. Menjadi anggota dan/atau pengurus organisasi terlarang; f. Ikut serta dan/atau terlibat dalam kampanye pemilihan umum dan/atau pemilihan kepala daerah; dan g. Meninggalkan tugas selama 30 hari kerja berturut-turut tanpa alasan yang jelas.
“Kepala Desa memegang jabatan selama 6 (enam) tahun terhitung sejak tanggal pelantikan, dan dapat menjabat paling banyak 3 (tiga) kali masa jabatab secara berturut-turut atau tidak berturut-turut.
Adapun perangkat desa terdiri atas: a. Sekretaris Desa; b. Pelaksana kewilayahan; dan c. Pelaksana teknis yang kesemuanya bertugas membantu Kepala Desa dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya. Perangkat desa diangkat oleh Kepala Desa setelah dikonsultasikan dengan Camat atas nama Bupati/Walikota.
Menurut UU ini, perangkat desa berpendidikan paling rendah sekolah menengah umum atau yang sederajat, berusia 20-42 tahun, dan terdaftar sebagai penduduk desa dan bertempat tinggal di desa paling kurang 1 (satu) tahun sebelum pendafaraan.
Hak dan Kewajiban
Pasal 67 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 ini menegaskan, desa berhak mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat berdasarkan hak asal usul, adat istiadat, dan nilai sosial budaya masyarakat desa; menetapkan dan mengelola kelembagaan desa; dan mendapatkan sumber pendapatan.
Sementara Masyarakat Desa berhak meminta dan mendapatkan informasi dari Pemerintah Desa serta megngawasi kegiatan penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan desa, dan pemberdayaan masyarakat desa; serta memperoleh pelayanan yang sama dan adil.
Adapun pendapatan Desa bersumber dari: a. Pendapatan asli Desa; b. Alokasi APBN; c. Bagian dari hasil pajak daerah dan retribusi daerah Kabupaten/Kota; d. alokasi dana Desa yang merupakan bagian dari dana perimbangan yang diterima Kabupaten/Kota; e. Bantuan keuangan dari APBD Provinsi dan APBD Kabupaten/Kota; f. Hibah dan sumbangan yang tidak mengikat dari pihak ketiga; dan g. Lain-lain pendapatan desa yang sah.

Sumber: SETKAB

Jumat, 13 Juni 2014

Ketua UPK PNPM Korupsi Dana Rp 900 Juta Ditahan Kejari Lamongan

Jumat, 27/12/2013 18:18 WIB

Ketua UPK PNPM Korupsi Dana Rp 900 Juta Ditahan Kejari Lamongan

Eko Sujarwo - detikNews

 
 Foto: Eko Sudjarwo 
 
Lamongan - Ketua Unit Pelaksana Kegiatan (UPK) PNPM Mandiri Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Perdesaan terpaksa berurusan dengan petugas Kejaksaan Negeri (Kejari) Lamongan. Pasalnya, pengurus PNPM Mandiri yang menjadi ketua Unit Pelaksana Kegiatan (UPK) PNPM Mandiri terbukti melakukan korupsi dana senilai Rp 900 juta.

Informasi yang dihimpun, pelaku bernama Irfanul Masnur Afifudin (25) warga Desa Beru, Kecamatan Sarirejo. Irfan resmi ditahan tim penyidik Kejari Lamongan, Jumat (27/12/2013) sore.

Dana ratusan juta itu uang pengembalian Simpan Pinjam Perempuan (SPP) dari beberapa kelompok masyarakat (Pokmas) yang tidak disetorkan ke rekening sejak tahun 2009 hingga 2012.

Kasi Intelejen Kejari Lamongan, Arfan Halim mengatakan, sekitar 94 kelompok yang terbagi di sejumlah desa. Saat menerima pengembalian pinjaman dari beberapa kelompok oleh tersangka, kata Arfan, dana tersebut tidak disetorkan ke rekening bank melainkan dipakai untuk kepentingan pribadi.

"Tercatat sejak 2009 hingga 2012," kata Arfan kepada wartawan.

Arfan menjelaskan, saat itu tersangka menjabat sebagai ketua Unit Pelaksana Kegiatan (UPK) PNPM Mandiri Perdesaan di Kecamatan Sarirejo. Tugasnya, mengelola dana bantuan pembangunan fisik dan dana SPP yang nilai anggarannya sekitar Rp 2 miliar per tahun.

Dana sebesar Rp 2 miliar ini, kata Arfan, 75 persen dialokasikan untuk bantuan fisik sementara sisanya dikelola dalam bentuk SPP. "Ternyata ada penyimpangan dalam pengelolaan simpan pinjamnya," terangnya.

Ditambahkan oleh Arfan, kasus korupsi ini mulai ditangani oleh Kejari Lamongan sejak pertengahan November 2013 lalu. Setelah memeriksa 15 orang saksi, baik dari ketua pokmas, pokmas, bendahara dan staf UPK, pihaknya akhirnya menemukan adanya nilai kerugian sebesar Rp 900 juta yang diduga dikorupsi oleh Irfanul.

"Uang pengembalian yang tidak disetorkan nilainya variatif ada yang Rp 10 juta, Rp 15 juta dan ada yang mencapai Rp 40 juta," pungkasnya.

Sumber :http://news.detik.com/surabaya/read/2013/12/27/181844/2452751/475/ketua-upk-pnpm-korupsi-dana-rp-900-juta-ditahan-kejari-lamongan?nd771104bcj