BANJARNEGARA merupakan salah satu daerah sentra penghasil salak terbesar dan terbaik di Jawa Tengah. Dulu, salak banjarnegara didominasi varietas lokal yang berukuran besar, manis, dan masir, atau mendekati spesifikasi salak bali yang juga sudah kondang itu.
Kini, para petani sudah mampu membaca tanda-tanda zaman. Ketika salak pondoh (dari Sleman) dan salak nglumut (Kabupaten Magelang) yang berukuran kecil dan manis menjadi tren dan amat dicari penggemar salak, para petani yang dibantu dinas terkait di Banjarnegara pun segera bertindak.
Mereka bukan ’’memindahkan’’ kebun salak pondoh di Sleman atau kebun salak nglumut di Kabupaten Magelang ke Banjarnegara. Artinya, para petani di Banjarnegara tidak mau sekadar menanam bibit murni salak pondoh dan salak nglumut saja, melainkan menyilangkannya dengan salak banjarnegara yang sudah punya kelas tersendiri.
Hasilnya, selain mempertahankan salak lokal, para petani juga memiliki varietas baru yang mirip salak pondoh dan salak nglumut, tetapi dengan ukuran yang lebih besar.
Para petani juga tak mau terjebak hanya sebatas penghasil salak dan menjualnya ke pedagang pengepul. Untuk meningkatkan nilai tambah, sebagian dari mereka juga mulai menerapkan proses pengolahan hasil, sehingga muncullah berbagai produk seperti jenang, manisan, sirup, selai, dan keripik yang semuanya berbahan baku salak. Berbagai produk itu dapat dijumpai di hampir seluruh wilayah Banjarnegara dan sekitarnya.
Untuk membuat produk olahan, tentu diperlukan bahan baku berkualitas. Dalam konteks ini, para produsen olahan salak tak mengalami kesulitan bahan baku. Selain tersedia di daerah sendiri dalam jumlah melimpah, kualitasnya juga bisa dibilang masih yang terbaik di Jawa Jengah.
Daya Dukung Situasi ini tidak terlepas dari lahan yang tersedia di Kabupaten Banjarnegara, yang mana struktur tanah, iklim, dan segala macam unsur di sana sangat mendukung pertumbuhkembangan tanaman salak.
Sumber daya manusia (SDM) menjadi daya dukung tersendiri, karena sebagian besar petani salak yang ada sekarang ini sudah mengenal budi daya tanaman ini sejak kecil. Pasalnya, orang tua mereka juga memiliki kebun salak, dan semasa kecil sudah diminta membantu berkebun.
Tidak heran jika menjadi salah satu produk unggulan, bahkan trade mark Banjarnegara. Ia juga menjadi salah satu ikon daerah penghasil salak unggulan se-eks Karesidenan Banyumas. Ini tercermin dari kuantitas dan kualitas hasil panen dalam beberapa tahun terakhir.
Dari segi kesuburan tanah, struktur alam pegunungan yang terhampar luas di kabupaten ini sangat mendukung pertumbuhan dan produktivitas. Demikian juga iklim di daerah ini yang relatif sejuk, sehingga sangat menopang aktivitas budi daya salak. Meski di suatu daerah terdapat lahan subur, tetapi jika iklimnya tidak sejuk maka produksinya tidak sesuai dengan apa yang diharapkan.
Potensi Lain Merujuk pada dua kondisi di Banjarnegara itulah, penulis mencoba menguak sisi lain dari kegiatan bisnis yang secara produktif dilakukan oleh banyak warga Banjarnegara. Pernahkah terlintas adanya potensi lain yang bisa didapat, dengan tidak menafikan potensi salak itu sendiri?
Selama ini, masyarakat pedesaan di banyak wilayah di Indonesia seperti terjebak pada budi daya tanaman itu sendiri. Mereka tidak menyadari bahwa budi daya tanaman tertentu, termasuk buah-buahan seperti salak, memiliki daya tarik di luar aspek budi daya tersebut.
Ya, salah satu potensi salak di Banjarnegara yang bisa digarap ke depan adalah ’’menyulap’’ lahan-lahan yang ada sebagai lokasi wisata kebun. Wisata kebun merupakan salah satu bagian dari agrowisata, yang kini mulai dikembangkan di sejumlah kabupaten di Jawa Tengah.
Dalam wisata kebun salak ini, pengunjung dapat belajar mengenai anatomi dan klasifikasi tanaman ini. Bagaimana bentuk daunnya, di mana duri-duri menempel di bagian tanaman, dan sebagainya.
Wisata ini penting, mengingat sebagian dari masyarakat kita ëíterbiusíí hanya sebagai penikmat. Mereka hanya sekadar mengenal dan menikmati buah salah, tetapi tidak pernah mengetahui bagaimana bentuk tanamannnya.
Di waktu-waktu tertentu, pengunjung dapat melihat aktivitas petani saat menanam bibit salak, mengapa petani memilih waktu tertentu saat menanam, hingga bagaimana proses pemupukan, penyiangan, penyiraman, dan sebagainya.
Bahkan, lebih afdol lagi, jika di lokasi wisata kebun juga dibangun —meski sederhana— industri rumah tangga yang mengolah salak menjadi aneka produk seperti jenang, keripik, selai, manisan, dan sirup.
Ya, banyak hal yang belum diketahui orang mengenai salak, dan itu menjadi peluang usaha yang tak berkesudahan. Orang-orang kota, mulai dari Purwokerto, Magelang, Solo, Pekalongan, dan Semarang pasti akan tertarik menghabiskan waktu liburnya bersama keluarga, terutama anak-anak, dengan wisata edukasi seperti ini.
Sebelum melangkah ke arah sana, pemerintah daerah perlu memberikan penyuluhan terlebih dulu kepada masyarakat setempat yang wilayahnya akan disulap menjadi lokasi wisata kebun. Kendati orang-orang desa relatif lebih ramah daripada orang kota, setidaknya mereka bisa diajari bagaimana menjamu wisatawan dengan sebaik-baiknya.
Jika hal tersebut bisa berkembang, bukan tidak mungkin multiplier effect akan terus bermunculan di masing-masing desa wisata kebun. Yang sangat memungkinkan adalah maraknya pedagang kaki lima (PKL) dan asongan, jasa pemandu wisata, dan pembangunan homestay yang khas pedesaan.
Atraksi kesenian pun bisa digelar di masing-masing lokasi wisata kebun, terutama pada hari libur ketika jumlah pengunjung melebihi hari-hari biasa. Pelaku seni, misalnya para pemain ebeg, pasti ikut kecipratan rezeki, sebagaimana para PKL, asongan, serta pemilik dan pekerja di homestay. Ini bukan sekadar mimpi, karena Banjarnegara (bersama Wonosobo) juga memiliki objek wisata berkelas internasional, yaitu Dataran Tinggi Dieng.
Sumber: Suara Merdeka 24 Januari 2009
Kini, para petani sudah mampu membaca tanda-tanda zaman. Ketika salak pondoh (dari Sleman) dan salak nglumut (Kabupaten Magelang) yang berukuran kecil dan manis menjadi tren dan amat dicari penggemar salak, para petani yang dibantu dinas terkait di Banjarnegara pun segera bertindak.
Mereka bukan ’’memindahkan’’ kebun salak pondoh di Sleman atau kebun salak nglumut di Kabupaten Magelang ke Banjarnegara. Artinya, para petani di Banjarnegara tidak mau sekadar menanam bibit murni salak pondoh dan salak nglumut saja, melainkan menyilangkannya dengan salak banjarnegara yang sudah punya kelas tersendiri.
Hasilnya, selain mempertahankan salak lokal, para petani juga memiliki varietas baru yang mirip salak pondoh dan salak nglumut, tetapi dengan ukuran yang lebih besar.
Para petani juga tak mau terjebak hanya sebatas penghasil salak dan menjualnya ke pedagang pengepul. Untuk meningkatkan nilai tambah, sebagian dari mereka juga mulai menerapkan proses pengolahan hasil, sehingga muncullah berbagai produk seperti jenang, manisan, sirup, selai, dan keripik yang semuanya berbahan baku salak. Berbagai produk itu dapat dijumpai di hampir seluruh wilayah Banjarnegara dan sekitarnya.
Untuk membuat produk olahan, tentu diperlukan bahan baku berkualitas. Dalam konteks ini, para produsen olahan salak tak mengalami kesulitan bahan baku. Selain tersedia di daerah sendiri dalam jumlah melimpah, kualitasnya juga bisa dibilang masih yang terbaik di Jawa Jengah.
Daya Dukung Situasi ini tidak terlepas dari lahan yang tersedia di Kabupaten Banjarnegara, yang mana struktur tanah, iklim, dan segala macam unsur di sana sangat mendukung pertumbuhkembangan tanaman salak.
Sumber daya manusia (SDM) menjadi daya dukung tersendiri, karena sebagian besar petani salak yang ada sekarang ini sudah mengenal budi daya tanaman ini sejak kecil. Pasalnya, orang tua mereka juga memiliki kebun salak, dan semasa kecil sudah diminta membantu berkebun.
Tidak heran jika menjadi salah satu produk unggulan, bahkan trade mark Banjarnegara. Ia juga menjadi salah satu ikon daerah penghasil salak unggulan se-eks Karesidenan Banyumas. Ini tercermin dari kuantitas dan kualitas hasil panen dalam beberapa tahun terakhir.
Dari segi kesuburan tanah, struktur alam pegunungan yang terhampar luas di kabupaten ini sangat mendukung pertumbuhan dan produktivitas. Demikian juga iklim di daerah ini yang relatif sejuk, sehingga sangat menopang aktivitas budi daya salak. Meski di suatu daerah terdapat lahan subur, tetapi jika iklimnya tidak sejuk maka produksinya tidak sesuai dengan apa yang diharapkan.
Potensi Lain Merujuk pada dua kondisi di Banjarnegara itulah, penulis mencoba menguak sisi lain dari kegiatan bisnis yang secara produktif dilakukan oleh banyak warga Banjarnegara. Pernahkah terlintas adanya potensi lain yang bisa didapat, dengan tidak menafikan potensi salak itu sendiri?
Selama ini, masyarakat pedesaan di banyak wilayah di Indonesia seperti terjebak pada budi daya tanaman itu sendiri. Mereka tidak menyadari bahwa budi daya tanaman tertentu, termasuk buah-buahan seperti salak, memiliki daya tarik di luar aspek budi daya tersebut.
Ya, salah satu potensi salak di Banjarnegara yang bisa digarap ke depan adalah ’’menyulap’’ lahan-lahan yang ada sebagai lokasi wisata kebun. Wisata kebun merupakan salah satu bagian dari agrowisata, yang kini mulai dikembangkan di sejumlah kabupaten di Jawa Tengah.
Dalam wisata kebun salak ini, pengunjung dapat belajar mengenai anatomi dan klasifikasi tanaman ini. Bagaimana bentuk daunnya, di mana duri-duri menempel di bagian tanaman, dan sebagainya.
Wisata ini penting, mengingat sebagian dari masyarakat kita ëíterbiusíí hanya sebagai penikmat. Mereka hanya sekadar mengenal dan menikmati buah salah, tetapi tidak pernah mengetahui bagaimana bentuk tanamannnya.
Di waktu-waktu tertentu, pengunjung dapat melihat aktivitas petani saat menanam bibit salak, mengapa petani memilih waktu tertentu saat menanam, hingga bagaimana proses pemupukan, penyiangan, penyiraman, dan sebagainya.
Bahkan, lebih afdol lagi, jika di lokasi wisata kebun juga dibangun —meski sederhana— industri rumah tangga yang mengolah salak menjadi aneka produk seperti jenang, keripik, selai, manisan, dan sirup.
Ya, banyak hal yang belum diketahui orang mengenai salak, dan itu menjadi peluang usaha yang tak berkesudahan. Orang-orang kota, mulai dari Purwokerto, Magelang, Solo, Pekalongan, dan Semarang pasti akan tertarik menghabiskan waktu liburnya bersama keluarga, terutama anak-anak, dengan wisata edukasi seperti ini.
Sebelum melangkah ke arah sana, pemerintah daerah perlu memberikan penyuluhan terlebih dulu kepada masyarakat setempat yang wilayahnya akan disulap menjadi lokasi wisata kebun. Kendati orang-orang desa relatif lebih ramah daripada orang kota, setidaknya mereka bisa diajari bagaimana menjamu wisatawan dengan sebaik-baiknya.
Jika hal tersebut bisa berkembang, bukan tidak mungkin multiplier effect akan terus bermunculan di masing-masing desa wisata kebun. Yang sangat memungkinkan adalah maraknya pedagang kaki lima (PKL) dan asongan, jasa pemandu wisata, dan pembangunan homestay yang khas pedesaan.
Atraksi kesenian pun bisa digelar di masing-masing lokasi wisata kebun, terutama pada hari libur ketika jumlah pengunjung melebihi hari-hari biasa. Pelaku seni, misalnya para pemain ebeg, pasti ikut kecipratan rezeki, sebagaimana para PKL, asongan, serta pemilik dan pekerja di homestay. Ini bukan sekadar mimpi, karena Banjarnegara (bersama Wonosobo) juga memiliki objek wisata berkelas internasional, yaitu Dataran Tinggi Dieng.
Sumber: Suara Merdeka 24 Januari 2009
0 komentar :
Posting Komentar